Polemik PKS dan Koalisi Prabowo, dari Status ‘Musuh Bersama’ Hingga Dilema Pragmatisme
Di video itu, Mardani menyatakan agar PKS berada di luar pemerintahan Prabowo.
“Kalau saya pilih oposisi. Kami jaga pemerintah agar betul-betul bekerja untuk rakyat,” tuturnya.
Sikap dan pilihan kader PKS terbelah. Ini dikonfirmasi Juru Bicara PKS, Ahmad Mabruri.
“Sebagian ada yang ingin PKS tetap oposisi, tapi ada juga yang ingin masuk koalisi,” tuturnya.
Mabruri berkata, saat ini diskusi tentang pilihan politik yang harus diambil PKS bergulir di berbagai grup kader.
Salah satu pertimbangan yang muncul dalam diskusi itu, kata Mabruri, “masyarakat awam tidak melihat apakah sebuah partai berperan sebagai oposisi pemerintah atau berada di dalam koalisi”.
Mabruri berkata, masyarakat lebih mementingkan bagaimana sebuah partai mengadvokasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi.
Untuk menentukan keputusan partai, Mabruri berkata PKS akan menggelar musyawarah yang melibatkan seluruh kader. Dia berkata, keputusan PKS tidak akan ditentukan sikap satu orang.
“Pilar utama PKS adalah soliditas dan struktur partai,” kata Mabruri.
‘Dekat tapi juga musuh bersama’
Meski pada Pilpres 2024 PKS tidak mencalonkan Prabowo sebagai calon presiden, partai ini sebenarnya memiliki rekam relasi yang erat dengan Ketua Umum Gerindra tersebut. Kecenderungan ini ditangkap oleh pakar politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi.
Bersanding bersama dalam Pilpres 2014 dan 2019, Asrinaldi menilai PKS dan Prabowo memiliki jalur komunikasi pribadi.
Namun jalur komunikasi itu disebut Asrinaldi tidak menjamin PKS dapat bergabung ke koalisi Prabowo secara mulus. Dia berkata, elite partai politik yang lebih dulu merapat ke Prabowo berpotensi menghambat bersatunya PKS ke koalisi pemerintahan.
“Prabowo tidak bisa menentukan sendiri. Bagi banyak partai, PKS adalah musuh bersama karena gaya komunikasi dan kritik mereka,” kata Asrinaldi.
“Ketika PKS ingin masuk koalisi, yang lain gerah, terutama Gelora. Prabowo pasti akan mempertimbangkan itu,” ujar Asrinaldi.
Belakangan ini, kata Juru Bicara PKS, Ahmad Mabruri, partainya telah berkomunikasi dengan semua pimpinan partai politik. Namun dia enggan mengungkap respons yang didapatkan PKS dari para elite tersebut.
“Kita lihat saja nanti hasilnya,” kata dia.
Dalam sejarah PKS, partai ini lebih sering memposisikan diri di luar pemerintahan. Pakar politik Michael Buehler mendokumentasikan dan menganalisis rekam jejak PKS dalam artikelnya di jurnal berbasis telaah sejawat, Party Politics.
Buehler menulis, pada tahun 2000 pimpinan PKS, Hidayat Nur Wahid, menyatakan tidak bergabung dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang dia tuduh pro-Israel.
Di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, tulis Buehler, PKS juga berada di luar pemerintahan dengan alasan perbedaan ideologi dengan PDIP.
Baru pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PKS untuk pertama kalinya mengusung pemerintahan. Mereka bahkan mendapat kursi di kabinet.
Setelah era SBY, PKS kembali berada di luar pemerintahan selama dua periode kepemimpinan Joko Widodo.
Ideologi atau pragmatisme?
Menurut Buehler, titik pijak PKS dalam membangun koalisi politik di tingkat nasional perlahan berubah.
Pada awal keikutsertaan mereka di Pemilu 1999, PKS sempat berwacana membentuk koalisi di antara partai Islam yang terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Umat Islam, Partai Masyumi, dan Partai Kebangkitan Umat.
Sebelum masuk dalam koalisi pemerintahan SBY, Buehler menilai PKS memanfaatkan posisi mereka untuk membuat citra sebagai partai dakwah atau partai Islam yang berbeda dengan partai berideologi sekuler-nasionalis.
Comments are closed.